Data Kekerasan Perempuan dan Anak Masih Terpecah Tantangan Integrasi, Peluang Perlindungan Nyata

Kekerasan Perempuan dan Anak

Data kekerasan perempuan dan anak di Indonesia masih terfragmentasi di berbagai lembaga. Artikel ini mengulas tantangan integrasi sistem, komitmen pemerintah, hingga peluang memperkuat perlindungan korban agar kebijakan lebih tepat sasaran.

TradeSphereFx –  Upaya perlindungan perempuan dan anak di Indonesia menghadapi tantangan serius akibat data kekerasan yang belum sepenuhnya terintegrasi. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi, menegaskan bahwa data yang dikumpulkan oleh berbagai kementerian dan lembaga sering kali masih terfragmentasi, tidak konsisten, bahkan terjadi duplikasi. Kondisi ini menyulitkan pemerintah dalam memperoleh gambaran yang utuh mengenai skala dan pola kekerasan di masyarakat.

“Data yang kredibel dan terpadu sangat penting untuk merumuskan kebijakan perlindungan yang tepat sasaran. Tanpa integrasi, langkah perlindungan bisa meleset dari kebutuhan nyata di lapangan,” ujar Arifah dalam konferensi pers peluncuran laporan sinergi data kekerasan terhadap perempuan, Rabu (20/8).

Pentingnya Interoperabilitas Antar Sistem

Saat ini terdapat tiga sistem utama yang berfungsi menghimpun data kekerasan: SIMFONI PPA milik Kemen PPPA, SintasPuan dari Komnas Perempuan, serta Titian Perempuan yang dikembangkan Forum Pengada Layanan (FPL). Ketiganya memiliki pendekatan dan teknologi berbeda, namun tujuan utamanya sama: memperkuat layanan bagi korban kekerasan.

Menteri PPPA menekankan pentingnya interoperabilitas atau keterhubungan antar sistem agar data bisa dipertukarkan dan dimanfaatkan secara bersama. Dengan mekanisme ini, ketiga platform tersebut dapat saling melengkapi, bukan berjalan sendiri-sendiri. “Jika sistem ini bisa saling berbagi, maka kebijakan akan lebih cepat dirumuskan, penanganan kasus bisa lebih tepat, dan keputusan bisa diambil dengan akurat,” jelas Arifah.

Di era digital, validitas dan keakuratan data menjadi pondasi penting. Data yang lengkap dan terintegrasi akan memengaruhi kualitas kebijakan serta efektivitas penanganan korban. Namun, mewujudkan interoperabilitas bukan hal mudah.

Tantangan Kompleks dalam Integrasi Data

Arifah mengakui bahwa membangun sistem terintegrasi menyangkut banyak aspek: teknologi, proses, hingga manusia. Perbedaan standar data antar lembaga, peraturan yang belum seragam, kapasitas sumber daya manusia yang tidak merata, serta isu privasi dan keamanan informasi menjadi hambatan yang perlu diatasi.

Meski begitu, pemerintah menunjukkan komitmennya sejak 2019. Pada 21 Desember 2019, Kemen PPPA, Komnas Perempuan, dan FPL menandatangani kesepakatan bersama mengenai sinergi data dan pemanfaatan sistem pendokumentasian kasus kekerasan terhadap perempuan. Kesepakatan tersebut kini diperpanjang untuk periode 2024–2029, menandai komitmen jangka panjang dalam memperkuat koordinasi dan penyusunan kebijakan berbasis data.

Perjuangan Belum Usai

Dalam semangat 80 tahun Indonesia merdeka, Arifah mengajak seluruh pihak untuk terus berkolaborasi. “Perjuangan kita belum berhenti. Mari kita bangun data yang kredibel, memperluas jangkauan layanan, dan mempercepat perlindungan nyata bagi perempuan korban kekerasan,” pungkasnya.

Upaya ini bukan sekadar pekerjaan administratif, melainkan bagian dari perjuangan hak asasi manusia. Data yang terintegrasi akan membuka jalan bagi korban untuk mendapatkan pemulihan lebih cepat, layanan yang sesuai, serta keadilan yang lebih nyata.

Perspektif Komnas Perempuan

Senada dengan Menteri PPPA, Ketua Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor menegaskan pentingnya sinergi data untuk mengurangi duplikasi, meningkatkan akurasi, dan memastikan kebijakan benar-benar sesuai dengan kondisi di lapangan.

Banyak korban kekerasan masih belum tercatat akibat keterbatasan akses, stigma sosial, serta minimnya layanan pendampingan, terutama di daerah terpencil. Maria menekankan bahwa integrasi data akan membantu memastikan tidak ada korban yang tertinggal. “Dengan dukungan Kemen PPPA dan FPL, layanan pemulihan bisa diperkuat sampai ke tingkat akar rumput,” ujarnya.

Integrasi Sebagai Pondasi Kebijakan

Interoperabilitas data bukan hanya soal teknologi, melainkan juga strategi untuk menciptakan kebijakan yang adil dan tepat sasaran. Dengan data yang lebih lengkap, pemerintah dapat mengidentifikasi tren kekerasan, menentukan wilayah yang membutuhkan intervensi segera, serta merancang program perlindungan yang sesuai kebutuhan korban.

Selain itu, keterpaduan data juga akan meningkatkan akuntabilitas lembaga negara sekaligus memperkuat kepercayaan publik. Masyarakat dapat menilai sejauh mana kebijakan berbasis data mampu memberi dampak nyata dalam mengurangi kasus kekerasan dan memberikan perlindungan.

Jalan Panjang Menuju Perlindungan Nyata

Meski tantangan masih besar, kolaborasi antara pemerintah, lembaga independen, dan masyarakat sipil memberi harapan baru. Integrasi data kekerasan perempuan dan anak bukan hanya proyek teknis, tetapi juga simbol komitmen bersama bahwa perlindungan korban harus menjadi prioritas nasional.

Dengan adanya sistem data yang lebih terhubung, diharapkan Indonesia tidak hanya mampu memberikan perlindungan darurat, tetapi juga membangun kebijakan jangka panjang yang melindungi martabat perempuan dan anak. Harapannya, tidak ada lagi korban yang terlupakan atau terpinggirkan dalam upaya menegakkan keadilan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *