Studi terbaru ungkap Gen Z kini memiliki krisis pendapatan lebih rendah dan rasio utang lebih tinggi dibanding milenial satu dekade lalu. Mengapa generasi muda tertinggal secara finansial?
TradeSphereFX – Generasi Z saat ini menghadapi tantangan ekonomi yang berat. Meskipun mereka tumbuh di era teknologi dan informasi, kenyataannya kondisi keuangan mereka jauh lebih rentan dibandingkan generasi milenial ketika berada di usia yang sama.
Sebuah studi dari biro kredit global TransUnion mengungkap fakta yang cukup mencengangkan: pada kuartal IV 2023, Gen Z (usia 22–24 tahun) memiliki rata-rata pendapatan sebesar US$45.493. Sementara itu, milenial satu dekade lalu, setelah disesuaikan dengan inflasi, memperoleh pendapatan sebesar US$51.825 di usia yang sama.
Dengan demikian, ada selisih yang cukup besar dalam daya beli antara dua generasi ini—membuktikan bahwa Gen Z berada dalam kondisi finansial yang lebih lemah, atau dalam istilah populernya, lebih “miskin” dari pendahulunya.
Rasio Utang Lebih Tinggi, Ketergantungan Kredit Meningkat
Tak hanya soal pendapatan, rasio utang terhadap pendapatan Gen Z juga lebih tinggi dibanding milenial, yaitu 16,05% dibandingkan 11,76%. Fakta ini menandakan bahwa Gen Z tidak hanya berpenghasilan lebih rendah, tetapi juga lebih bergantung pada utang untuk memenuhi kebutuhan dasar.
TransUnion mencatat bahwa 84% dari Gen Z usia 22–24 tahun telah memiliki setidaknya satu kartu kredit pada akhir 2023. Bandingkan dengan milenial satu dekade sebelumnya, yang hanya 61% pada kelompok usia yang sama. Bahkan, lebih dari sepertiga Gen Z menyebut kartu kredit sebagai produk finansial paling penting yang mereka miliki—menunjukkan betapa vitalnya peran kredit dalam keseharian mereka.
Inflasi dan Krisis Ekonomi Jadi Faktor Utama
Apa penyebabnya? Salah satunya adalah kondisi ekonomi makro. Gen Z memasuki dunia kerja di tengah inflasi tinggi dan ketidakpastian ekonomi pasca pandemi. Sejak 2013, inflasi kumulatif telah meningkat sekitar 32%. Puncaknya terjadi pada Juni 2022, ketika inflasi tahunan mencapai 9,1%—tertinggi dalam empat dekade terakhir.
Meskipun Bank Sentral AS (Federal Reserve) telah menerapkan kebijakan moneter ketat untuk mengendalikan inflasi, harga kebutuhan pokok tetap tinggi. Ini berarti bahwa meskipun gaji nominal meningkat, daya beli Gen Z justru menurun secara riil.
Tekanan Psikologis: Gen Z Lebih Stres Soal Uang
Kondisi ini menciptakan tekanan mental yang luar biasa. Berdasarkan survei TransUnion, 14% Gen Z menyatakan merasa “sangat stres” mengenai keuangannya, dua kali lipat dari milenial (8%) satu dekade lalu. Sebaliknya, hanya 8% Gen Z yang merasa “sangat percaya diri” secara finansial, dibandingkan 13% milenial pada 2013.
Indeks Sentimen Konsumen Universitas Michigan juga menunjukkan penurunan sebesar 13% pada Mei 2025—tanda bahwa tekanan keuangan sangat memengaruhi persepsi konsumen muda.
Dampak Pandemi dan Pasar Kerja yang Tidak Stabil
Gen Z menghadapi masa transisi ke dunia kerja dalam kondisi sangat tidak ideal. Banyak dari mereka lulus kuliah atau mencari kerja saat pandemi COVID-19 melanda. Ini menyebabkan pengurangan kesempatan kerja, pemangkasan gaji, serta hilangnya program magang dan pelatihan.
Kondisi ini menyebabkan “luka ekonomi” yang bisa bertahan bertahun-tahun. Penghasilan awal yang rendah akan berdampak pada kemampuan menabung, membeli rumah, hingga mempersiapkan masa pensiun. Ditambah lagi, Gen Z kini harus bersaing di tengah era gig economy, di mana pekerjaan cenderung bersifat kontrak jangka pendek, tanpa tunjangan dan keamanan kerja.
Biaya Pendidikan dan Utang Mahasiswa Menambah Beban
Faktor lain yang membebani Gen Z adalah mahalnya biaya pendidikan. Banyak dari mereka terpaksa mengambil pinjaman pendidikan dalam jumlah besar untuk bisa menyelesaikan kuliah. Saat mulai bekerja, beban cicilan utang sudah langsung menghantui mereka.
Sementara milenial memang juga menghadapi utang pendidikan, namun biaya kuliah dan bunga pinjaman saat itu belum seburuk sekarang.
Ketimpangan Sosial dan Digital Memperlebar Jurang
Gen Z dari latar belakang ekonomi menengah ke bawah menghadapi hambatan lebih besar. Akses terbatas ke pendidikan berkualitas, jaringan profesional, serta sumber daya digital memperlebar kesenjangan finansial. Ketimpangan ini menciptakan kondisi di mana potensi Gen Z sering kali tidak berkembang optimal.
Ada Harapan: Inovatif, Melek Teknologi, dan Adaptif
Meski tekanan ekonomi begitu besar, Gen Z juga dikenal sebagai generasi yang cepat beradaptasi. Mereka lebih melek finansial, memahami pentingnya perencanaan keuangan, dan terbuka pada karier non-tradisional seperti bisnis online, freelancing, dan remote working.
Jika diberi dukungan kebijakan publik yang tepat—seperti pendidikan finansial, subsidi pendidikan, dan insentif pajak untuk pekerja muda—maka potensi besar Gen Z bisa menjadi motor pertumbuhan ekonomi masa depan.
Tantangan Besar Membutuhkan Solusi Sistemik
Pendapatan lebih rendah, beban utang lebih tinggi, dan tekanan ekonomi yang terus meningkat menjadikan kondisi finansial Gen Z sangat berbeda dari generasi sebelumnya. Ini bukan semata-mata masalah gaya hidup, tapi cerminan dari sistem ekonomi yang belum sepenuhnya adaptif terhadap realitas baru.
Sudah saatnya pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat luas memberikan perhatian lebih kepada Gen Z. Sebab, keberhasilan mereka bukan hanya soal nasib satu generasi—melainkan penentu arah masa depan ekonomi bangsa.