Dua warga resmi menggugat skema pensiun seumur hidup DPR ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menilai aturan pensiun anggota DPR setelah hanya lima tahun kerja melanggar prinsip keadilan dan membebani APBN.
TradeSphereFx – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menjadi sorotan publik setelah menerima gugatan terkait skema pensiun bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dua warga negara, Lita Linggayani Gading dan Syamsul Jahidin, resmi mendaftarkan permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara. Gugatan ini terdaftar dengan nomor perkara 176/PUU-XXIII/2025.
Inti gugatan mereka adalah permintaan agar MK menghapus hak pensiun seumur hidup bagi anggota DPR. Sebab, menurut pemohon, skema yang berlaku saat ini memungkinkan anggota DPR yang hanya menjabat satu periode (lima tahun) tetap menerima pensiun bulanan hingga akhir hayat, bahkan bisa diwariskan.
Poin Gugatan: Ketidakadilan dalam Sistem
Dalam permohonan yang diajukan, para penggugat menyoroti Pasal 12 Ayat 1 UU No. 12 Tahun 1980, yang menyebutkan bahwa pimpinan dan anggota lembaga tinggi negara yang berhenti dengan hormat berhak memperoleh pensiun. Masalah muncul karena status anggota DPR dimasukkan ke dalam kategori tersebut, padahal menurut mereka DPR bukanlah jabatan yang setara dengan aparatur sipil negara (ASN) ataupun lembaga tinggi negara lainnya.
Dengan adanya ketentuan itu, anggota DPR yang hanya menjabat lima tahun bisa menikmati hak pensiun seumur hidup. Pemohon menilai hal ini menyalahi prinsip keadilan sosial, kesetaraan di depan hukum, serta melanggar amanat UUD 1945 terkait penggunaan pajak untuk kemakmuran rakyat.
Mereka menyebut kebijakan ini sebagai bentuk “privilege” berlebihan yang tidak mencerminkan semangat demokrasi.
Beban APBN dan Konsekuensi Fiskal
Aspek lain yang ditekankan adalah beban keuangan negara. Dengan asumsi sembilan periode DPR sejak aturan diberlakukan pada 1980, terdapat setidaknya 5.175 orang mantan anggota DPR yang berhak menerima pensiun.
Jika setiap orang mendapat hak pensiun penuh meskipun hanya lima tahun menjabat, maka beban tersebut otomatis ditanggung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Di satu sisi rakyat masih banyak yang kesulitan secara ekonomi, namun di sisi lain mantan anggota DPR tetap hidup sejahtera dengan jaminan pensiun,” tulis pemohon dalam gugatan.
Hal ini mereka sebut sebagai anomali demokrasi, dengan istilah tajam: “Rakyat sengsara, anggota DPR sejahtera.”
Ketidaksetaraan dengan Pekerja Biasa
Perbandingan dengan pekerja biasa juga menjadi argumen penting. Rakyat umumnya harus menabung bertahun-tahun melalui program BPJS Ketenagakerjaan atau skema pensiun swasta yang memiliki banyak syarat. Namun, anggota DPR hanya dengan sekali duduk lima tahun sudah berhak menerima uang pensiun bulanan.
Selain itu, anggota DPR juga mendapat tunjangan hari tua (THT) sebesar Rp15 juta yang dibayarkan sekali. Hal ini menimbulkan kesan timpang, sebab pekerja biasa tidak memiliki fasilitas serupa tanpa memenuhi syarat usia, masa kerja, dan kontribusi tertentu.
Perbandingan dengan Negara Lain
Jika melihat praktik internasional, mayoritas negara menetapkan pensiun anggota parlemen berdasarkan lama masa jabatan, kontribusi, dan usia pensiun tertentu. Artinya, hak pensiun tidak langsung diberikan hanya karena pernah menduduki jabatan legislatif.
Di Indonesia, aturan yang longgar ini menimbulkan kesan bahwa kursi DPR adalah “jalur cepat menuju pensiun seumur hidup”. Kondisi tersebut semakin memperkuat persepsi publik bahwa ada kesenjangan besar antara pejabat negara dan rakyat biasa.
Implikasi Politik dan Sosial
Gugatan ini berpotensi mengguncang sistem kelembagaan DPR. Jika MK mengabulkan, maka ke depan bisa terjadi perubahan signifikan dalam pengelolaan hak keuangan anggota DPR. Namun, jika ditolak, besar kemungkinan kritik publik terhadap DPR akan semakin meningkat, mengingat isu ini sangat sensitif terkait penggunaan pajak rakyat.
Bagi masyarakat, gugatan ini menjadi simbol perjuangan kontrol rakyat terhadap kebijakan elit politik. Pasalnya, uang pensiun anggota DPR sejatinya berasal dari pajak yang dibayarkan masyarakat.
Skema pensiun DPR yang memungkinkan anggota legislatif menikmati tunjangan seumur hidup meski hanya menjabat lima tahun kini dipersoalkan di Mahkamah Konstitusi. Gugatan yang diajukan oleh dua warga menekankan aspek ketidakadilan, beban APBN, serta ketidaksetaraan dengan rakyat biasa.
Apapun putusan MK nantinya, kasus ini menyoroti pentingnya reformasi dalam sistem kesejahteraan pejabat negara agar lebih transparan, adil, dan selaras dengan prinsip konstitusi: “Untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
One thought on “Warga Gugat Skema Pensiun DPR ke MK: Hak Seumur Hidup Usai 5 Tahun Dinilai Tidak Adil”