Sidang perdana Isa Rachmatarwata, eks Dirjen Anggaran Kemenkeu, dalam kasus korupsi Jiwasraya senilai Rp16,8 triliun segera digelar. Skandal ini menyingkap bobroknya tata kelola asuransi BUMN dan menjadi ujian besar bagi penegakan hukum Indonesia.
TradeSphereFx – Skandal korupsi terbesar di sektor keuangan negara kembali memasuki babak baru. Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan nonaktif, Isa Rachmatarwata (IR), resmi akan menghadapi sidang perdana terkait kasus mega korupsi PT Asuransi Jiwasraya (AJS) pada 26 Agustus 2025 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Informasi ini disampaikan langsung oleh Juru Bicara PN Jakpus, Andi Saputra, yang menegaskan bahwa berkas perkara telah diterima pada 19 Agustus 2025. Ketua PN Jakpus, Husnul Khotimah, menunjuk lima orang hakim untuk menangani kasus sensitif ini. Hakim Sunoto ditetapkan sebagai ketua majelis, dengan anggota hakim Dennie Arsan Fatrika, Ni Kadek Susantiani, Mardiantos, dan Alfis Setyawan.
Akar Masalah Krisis Keuangan Jiwasraya
Kasus Jiwasraya bukan sekadar persoalan administrasi biasa. Skandal ini bermula sejak 2008–2018, ketika Isa masih menjabat sebagai Kepala Biro Perasuransian pada Bapepam-LK (Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan).
Pada akhir 2008, Jiwasraya dinyatakan dalam kondisi insolvent atau tidak sehat. Laporan keuangan per 31 Desember 2008 menunjukkan adanya kekurangan pencadangan kewajiban kepada pemegang polis sebesar Rp5,7 triliun. Dengan kondisi keuangan yang memburuk, Jiwasraya sebenarnya berada di ambang kebangkrutan.
Menteri BUMN saat itu bahkan sempat mengusulkan tambahan modal negara sebesar Rp6 triliun dalam bentuk obligasi tanpa bunga (zero coupon bond) serta dana tunai untuk menyelamatkan Jiwasraya. Namun, usulan ini ditolak karena tingkat solvabilitas Jiwasraya telah jatuh pada level -580%, jauh dari batas aman 120% yang diwajibkan.
Upaya Penyelamatan yang Menjerumuskan
Dalam menghadapi krisis, direksi Jiwasraya saat itu – antara lain Hendrisman Rahim, Hary Prasetyo, dan Syahmirwan – menggagas sejumlah langkah penyelamatan, salah satunya melalui restrukturisasi keuangan.
Namun, langkah tersebut justru memunculkan produk kontroversial JS Saving Plan, sebuah produk asuransi yang dikemas dengan iming-iming investasi berbunga tinggi 9%–13%, jauh di atas rata-rata suku bunga Bank Indonesia yang saat itu hanya 7,5%–8,75%.
Produk ini memang mampu menarik banyak investor, namun pada kenyataannya tidak sejalan dengan kemampuan keuangan Jiwasraya. Ironisnya, produk tersebut bisa diluncurkan karena telah mendapatkan restu dari Bapepam-LK, lembaga tempat Isa Rachmatarwata saat itu menjabat.
Berdasarkan regulasi, sebuah perusahaan asuransi yang dalam kondisi insolven seharusnya tidak diperbolehkan meluncurkan produk baru. Namun, izin tetap diberikan, yang pada akhirnya justru memperparah kerugian perusahaan dan negara.
Kerugian Negara Fantastis
Berdasarkan hasil investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), praktik pengelolaan dana investasi Jiwasraya selama 2008–2018 menimbulkan kerugian negara fantastis, mencapai Rp16,8 triliun.
Akibat tindakannya, Isa Rachmatarwata dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang turut serta dalam tindak pidana.
Pertaruhan Penegakan Hukum
Kasus Jiwasraya dianggap sebagai skandal keuangan terbesar dalam sejarah BUMN Indonesia. Bukan hanya merugikan negara triliunan rupiah, tetapi juga menghancurkan kepercayaan ribuan pemegang polis yang mayoritas adalah masyarakat kelas menengah dan pensiunan.
Sidang perdana Isa Rachmatarwata akan menjadi momen penting untuk melihat sejauh mana aparat penegak hukum serius menindak kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi Kementerian Keuangan.
Publik menaruh harapan besar agar kasus ini tidak berakhir dengan vonis ringan atau sekadar menjadi “ritual hukum” tanpa menyentuh akar permasalahan.
Dampak Lebih Luas
Skandal Jiwasraya meninggalkan luka panjang dalam industri asuransi nasional. Krisis kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan asuransi – terutama milik negara – masih terasa hingga kini.
Kasus ini menjadi pelajaran berharga bahwa lemahnya pengawasan, kolusi antara regulator dan perusahaan, serta ambisi mengejar keuntungan instan dapat menjerumuskan institusi keuangan sebesar Jiwasraya dalam kebangkrutan.
Dengan majunya Isa ke meja hijau, publik berharap akan ada kejelasan tanggung jawab hukum sekaligus langkah nyata untuk membangun sistem keuangan yang lebih transparan, akuntabel, dan bebas dari praktik korupsi.
Sidang yang akan digelar pada 26 Agustus 2025 mendatang bukan sekadar menghadirkan seorang terdakwa, melainkan juga membuka lembaran kelam sejarah keuangan Indonesia. Jika hukum ditegakkan dengan benar, skandal Jiwasraya bisa menjadi momentum untuk memperbaiki tata kelola keuangan negara dan mengembalikan kepercayaan publik.
Namun, jika sebaliknya, kasus ini berpotensi menambah daftar panjang ironi penegakan hukum di negeri ini – keras pada rakyat kecil, namun lunak terhadap elite yang berkuasa.