Likuiditas Longgar, Kredit Mandek: Tantangan Baru Perbankan Indonesia

Likuiditas Longgar, Kredit Mandek: Tantangan Baru Perbankan Indonesia

Likuiditas perbankan Indonesia kini longgar, namun kredit masih lesu. OJK dan BI menilai faktor utama terletak pada permintaan, tingginya suku bunga, serta sikap hati-hati pelaku usaha.

TradeSphereFx –  Likuiditas yang sempat menjadi isu serius di sektor perbankan Indonesia kini perlahan teratasi. Dukungan pemerintah dan kebijakan Bank Indonesia (BI) berhasil memberikan ruang napas bagi bank-bank besar, terutama kelompok Himbara (Himpunan Bank Milik Negara). Namun, meski likuiditas sudah longgar, pertumbuhan kredit belum menunjukkan akselerasi signifikan.

Situasi ini menimbulkan pertanyaan baru: mengapa dana yang tersedia di perbankan belum terserap maksimal ke sektor riil? Jawabannya mengarah pada masalah permintaan, tingginya suku bunga kredit, dan sikap hati-hati pelaku usaha.

Injeksi Likuiditas Rp 200 Triliun

Pemerintah baru-baru ini menempatkan dana senilai Rp 200 triliun di bank-bank Himbara. Langkah ini memperkuat posisi likuiditas dan memperluas kemampuan bank menyalurkan kredit.

Selain itu, BI tetap mempertahankan insentif likuiditas makroprudensial (KLM). Hingga pekan pertama September 2025, total KLM yang diberikan mencapai Rp 384 triliun. Dukungan ganda dari pemerintah dan BI membuat posisi kas bank semakin solid.

Rasio Likuiditas Semakin Longgar

Dampak positif dari kebijakan ini terlihat jelas pada rasio likuiditas perbankan. Loan to Deposit Ratio (LDR), salah satu indikator utama, turun menjadi 85,34% per 12 September 2025. Angka ini menjadi level paling longgar sepanjang tahun, menandakan ketersediaan dana pinjaman yang melimpah.

Rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) juga naik dari 24,01% menjadi 25,57%. Sementara itu, rasio Alat Likuid terhadap Non-Core Deposit (AL/NCD) meningkat dari 106,92% menjadi 113,73%.

Dengan kondisi ini, jelas bahwa masalah perbankan bukan lagi soal likuiditas, melainkan rendahnya penyerapan kredit oleh dunia usaha.

Permintaan Kredit Masih Lemah

Gubernur BI Perry Warjiyo menilai pertumbuhan kredit masih tertahan oleh lemahnya permintaan. Meskipun secara tahunan kredit tumbuh 7,56% pada Agustus 2025, angka ini hanya sedikit lebih baik dibanding bulan sebelumnya yang berada di 7,03%.

Menurut Perry, ada beberapa alasan mengapa permintaan kredit belum optimal:

  1. Sikap menunggu pelaku usaha – Banyak perusahaan menunda ekspansi karena ketidakpastian ekonomi.
  2. Suku bunga kredit tinggi – Meski turun, bunga kredit masih di level 9,13% pada Agustus 2025, hanya berkurang 7 basis poin sejak awal tahun.
  3. Penggunaan dana internal – Banyak korporasi lebih memilih menggunakan dana internal untuk mendanai aktivitas bisnis mereka.

Akibatnya, fasilitas pinjaman yang sudah disetujui belum banyak dicairkan. Data BI menunjukkan rasio undisbursed loan atau kredit menganggur pada Agustus 2025 mencapai Rp 2.372,11 triliun atau sekitar 22,71% dari total plafon kredit.

Kredit Menganggur Tertinggi di Industri dan Pertambangan

Perry merinci bahwa sektor dengan kredit menganggur terbesar adalah industri pengolahan, pertambangan, jasa dunia usaha, dan perdagangan. Sebagian besar berbentuk kredit modal kerja, menandakan perusahaan masih menunda penggunaan dana meski sudah tersedia.

Kondisi ini mencerminkan rendahnya kepercayaan diri pelaku usaha terhadap prospek ekonomi jangka pendek.

Tingginya Suku Bunga Jadi Kendala

Faktor lain yang menghambat ekspansi kredit adalah tingginya suku bunga pinjaman. Perry mengakui penurunan bunga kredit berjalan sangat lambat, hanya turun dari 9,20% di awal 2025 menjadi 9,13% pada Agustus 2025.

Menurutnya, penurunan suku bunga deposito dan kredit harus segera dilakukan agar permintaan kredit meningkat. Tanpa penyesuaian, bank akan kesulitan mempercepat pembiayaan ke sektor produktif.

Stimulus Pemerintah Diharapkan Dorong Kredit

Perry berharap berbagai stimulus yang telah dikeluarkan pemerintah, termasuk Paket Stimulus 8+4+5, bisa mendorong permintaan kredit lebih tinggi. Dengan dukungan kebijakan tersebut, BI optimistis pertumbuhan kredit masih dapat mencapai target 8% hingga 11% tahun ini.

Perspektif OJK: Kredit Menganggur Bukan Sinyal Buruk

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, memberikan pandangan berbeda. Menurutnya, kredit menganggur tidak selalu berarti buruk. Faktanya, kredit tersebut sudah disepakati antara bank dan nasabah, hanya saja pencairannya menunggu waktu yang tepat.

“Ini justru menunjukkan masih ada optimisme. Pelaku usaha sudah menyiapkan pembiayaan, hanya menunggu momentum untuk menggunakannya,” jelas Dian.

Namun, ia juga mengakui masih ada sektor-sektor yang belum sepenuhnya pulih sejak pandemi Covid-19. Sektor industri pengolahan, misalnya, masih menempati porsi kredit terbesar yaitu 15,39%, tetapi pertumbuhannya hanya 5,59% per Juli 2025. Angka ini jauh lebih rendah dibanding periode yang sama tahun lalu yang mampu tumbuh 10,45%.

Ekspansi Perbankan Tetap Selektif

Dian menegaskan, setiap kali bank menyampaikan rencana ekspansi kredit di sektor tertentu, OJK selalu mengevaluasi alasan dan argumen yang mendasarinya. Hal ini penting untuk memastikan ekspansi dilakukan secara hati-hati, sesuai kondisi sektor, dan tidak menimbulkan risiko baru.

Likuiditas perbankan Indonesia kini berada di posisi aman dan longgar, berkat dukungan dana pemerintah dan kebijakan BI. Namun, tantangan baru muncul: bagaimana mendorong permintaan kredit yang masih lesu.

Dengan permintaan kredit yang lemah, suku bunga tinggi, dan ketidakpastian global, bank perlu mengambil peran lebih proaktif. Sementara itu, OJK dan BI berharap stimulus fiskal dan moneter dapat mendorong pelaku usaha lebih percaya diri untuk menggunakan kredit.

Jika masalah ini dapat diatasi, pertumbuhan kredit berpotensi mencapai target 8–11% dan menjadi motor penggerak ekonomi nasional pada 2026.

One thought on “Likuiditas Longgar, Kredit Mandek: Tantangan Baru Perbankan Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *