Pakar hukum mendesak agar revisi UU BUMN tidak hanya melarang wakil menteri, tetapi juga pejabat eselon I merangkap jabatan komisaris BUMN. Aturan ini penting untuk menjaga profesionalisme, mencegah konflik kepentingan, dan memperkuat tata kelola perusahaan negara.
TradeSphereFx – Komisi VI DPR RI tengah menggodok Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Keempat atas UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) yang digelar Rabu (24/9/2025), para pakar hukum dari Universitas Udayana dan Universitas Negeri Semarang menyoroti isu penting: larangan rangkap jabatan pejabat publik sebagai komisaris di BUMN.
Pakar Hukum Universitas Udayana, Jimmy Z Usfunan, menilai larangan ini tidak boleh berhenti hanya pada level wakil menteri sebagaimana diatur dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya, pejabat eselon I pun seharusnya dilarang menduduki kursi komisaris di perusahaan pelat merah.
Profesionalisme dan Konflik Kepentingan
Jimmy mengingatkan, BUMN sejatinya beroperasi dengan orientasi profit, sementara pejabat birokrasi memiliki fungsi utama melayani publik. Bila pejabat eselon I diperbolehkan duduk sebagai komisaris, maka potensi konflik kepentingan akan sangat besar.
“Saya sepakat bahwa tidak hanya wakil menteri, tetapi pejabat eselon I juga tidak seharusnya menduduki jabatan komisaris BUMN. Ini penting agar tidak terjadi benturan kepentingan,” tegas Jimmy.
Ia menambahkan, masuknya pejabat birokrasi ke dalam lingkup BUMN dapat menciptakan dualisme peran yang membingungkan. Di satu sisi mereka adalah pelayan publik, di sisi lain mereka harus mengedepankan keuntungan perusahaan. Kondisi ini berisiko menurunkan profesionalisme serta mengganggu objektivitas dalam pengambilan keputusan strategis di BUMN.
Dampak Positif Larangan Rangkap Jabatan
Jimmy menjelaskan, larangan rangkap jabatan hingga level eselon I akan membawa sejumlah manfaat penting:
- Fokus pada Bisnis – BUMN dapat lebih konsentrasi menjalankan misi bisnisnya tanpa intervensi kepentingan birokrasi.
- Pengawasan Lebih Kuat – Tanpa pejabat publik di kursi komisaris, mekanisme pengawasan internal dan eksternal dapat berjalan lebih efektif.
- Profesionalisme Meningkat – Posisi komisaris akan diisi oleh profesional independen dengan keahlian manajerial, bukan oleh pejabat birokrasi.
“Ketika ada larangan rangkap jabatan, otomatis pengawasan meningkat. Dengan begitu pelaksanaan fungsi komisaris menjadi lebih efektif dan sehat,” tegas Jimmy.
Pandangan Lain dari Akademisi
Sementara itu, Rofi Wahanisa, pakar hukum dari Universitas Negeri Semarang, menilai putusan MK sudah cukup memberikan dasar hukum terkait larangan rangkap jabatan. Namun, aturan tersebut masih bersifat umum dan membutuhkan perincian teknis lebih lanjut.
Menurut Rofi, revisi UU BUMN adalah momentum tepat untuk memperjelas posisi apa saja yang dilarang merangkap jabatan, baik di level menteri, wakil menteri, maupun pejabat eselon I.
“Putusan MK masih umum sifatnya. Dalam RUU ini, sebaiknya dirinci lebih teknis jabatan mana saja yang dilarang rangkap jabatan di BUMN,” jelas Rofi.
Ia menekankan, keputusan final tetap berada di tangan DPR sebagai pembuat undang-undang. Namun, masukan akademisi diharapkan dapat memberi pijakan kuat dalam perumusan aturan yang lebih transparan dan akuntabel.
Latar Belakang Putusan MK
Larangan rangkap jabatan di BUMN mengemuka setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa wakil menteri tidak boleh merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN. Putusan ini bertujuan menjaga independensi BUMN dan mencegah konflik kepentingan.
Meski begitu, aturan ini belum menyentuh level eselon I yang kerap menduduki posisi strategis di BUMN. Celah inilah yang menurut para pakar perlu segera ditutup melalui revisi undang-undang.
Revisi UU BUMN: Momentum Perbaikan Tata Kelola
Revisi UU BUMN bukan sekadar formalitas hukum. Lebih jauh, revisi ini bisa menjadi langkah krusial dalam memperbaiki tata kelola perusahaan negara. BUMN memegang peran penting dalam perekonomian nasional, mulai dari energi, infrastruktur, hingga telekomunikasi.
Dengan menghapus potensi konflik kepentingan di level jabatan komisaris, BUMN diharapkan mampu menjalankan misi bisnis secara lebih transparan, akuntabel, dan profesional.
Tantangan Politik dan Implementasi
Meski masukan dari pakar hukum jelas mendukung larangan rangkap jabatan, implementasi aturan ini masih akan menghadapi tantangan politik. Tidak sedikit pejabat eselon yang selama ini mendapat kursi komisaris di BUMN, baik sebagai bentuk penghargaan maupun sarana kontrol.
Pertanyaannya, apakah DPR akan berani merumuskan aturan tegas yang melarang praktik ini, atau tetap mempertahankan status quo demi kompromi politik?
Diskusi di Komisi VI DPR RI menegaskan bahwa revisi UU BUMN harus lebih tegas dan detail dalam mengatur larangan rangkap jabatan. Usulan dari para pakar hukum menunjukkan adanya kebutuhan untuk menjaga profesionalisme dan integritas BUMN dengan melarang tidak hanya wakil menteri, tetapi juga pejabat eselon I menduduki kursi komisaris.
Jika usulan ini diakomodasi, revisi UU BUMN berpotensi menjadi tonggak penting dalam menciptakan tata kelola perusahaan negara yang lebih sehat, independen, dan berorientasi bisnis tanpa intervensi kepentingan birokrasi.
One thought on “Revisi UU BUMN: Pakar Desak Larangan Rangkap Jabatan Hingga Eselon I Demi Tata Kelola Profesional”