Apakah uang digital benar-benar memiliki nilai atau hanya ilusi? Artikel ini membahas studi terbaru tentang tokenomics, risiko kripto, komitmen penerbit, hingga relevansi bagi Indonesia dalam membangun ekonomi digital.
TradeSphereFx – Bayangkan sebuah pasar tradisional. Setiap pedagang menggunakan uang kertas yang diterbitkan oleh seorang ketua pasar. Uang ini dipercaya bernilai karena ada janji: tidak akan dicetak berlebihan dan biaya transaksi dijaga tetap wajar. Namun, jika sang ketua tiba-tiba mencetak lebih banyak uang demi keuntungan pribadi, nilai uang jatuh dan kepercayaan pun hilang.
Fenomena ini sangat mirip dengan yang terjadi di dunia kripto saat ini. Studi Jermann & Xiang (2025) dalam Journal of Monetary Economics menemukan bahwa keberhasilan atau kegagalan sebuah token digital sangat ditentukan oleh komitmen penerbit dalam menjaga kebijakan moneter dan biaya transaksi. Teknologi blockchain memang memberi transparansi, tetapi tanpa komitmen yang kredibel, nilai token hanyalah ilusi.
Komitmen, Kunci Nilai Token
Penelitian Jermann & Xiang menganalisis hampir 2.000 token dari berbagai proyek blockchain. Mereka menemukan pola yang menarik: laju pertumbuhan pasokan kripto cenderung menurun hingga stabil di sekitar 3% per tahun. Bahkan, token yang banyak dimiliki investor ritel cenderung lebih stabil pasokannya.
Artinya, semakin luas keterlibatan masyarakat, semakin besar pula tekanan bagi penerbit untuk menjaga janji dan menghindari pencetakan token berlebihan.
Secara teori, ini mengingatkan pada perdebatan klasik dalam kebijakan moneter: aturan vs. diskresi. Ekonom Kydland dan Prescott (1977) menekankan pentingnya aturan tetap (rules) agar pemerintah tidak tergoda mencetak uang untuk keuntungan sesaat. Dunia kripto kini menjadi laboratorium nyata dari perdebatan itu.
- Bitcoin dianggap memiliki komitmen sempurna karena pasokannya dibatasi hanya 21 juta unit.
- Ethereum lebih fleksibel dengan pasokan yang bisa berubah, sehingga membawa risiko lebih besar.
Belajar dari Kasus Terra-Luna
Sejarah mencatat betapa rapuhnya token ketika komitmen goyah. Kasus Terra-Luna (2022) adalah contoh nyata: janji stabilitas runtuh ketika mekanisme penerbitan dan pembakaran token gagal menahan guncangan pasar. Dalam hitungan hari, nilainya ambruk hampir ke nol.
Sebaliknya, Bitcoin, meski harganya berfluktuasi, tetap dipercaya karena aturan pasokan yang jelas dan nyaris mustahil diubah.
Studi Jermann & Xiang juga menunjukkan paradoks menarik: dengan menahan diri dari mencetak token berlebihan, penerbit justru bisa memperoleh keuntungan lebih besar dalam jangka panjang. Kepercayaan publik menjadi modal ekonomi yang nilainya jauh lebih besar dibanding keuntungan instan.
Cermin bagi Dunia Nyata
Meskipun studi ini membahas kripto, relevansinya sangat besar bagi dunia nyata, termasuk Indonesia. Bank Indonesia (BI) sering menghadapi dilema serupa: menjaga inflasi tetap rendah atau mencetak uang untuk stimulus jangka pendek.
Sejarah dunia menunjukkan negara yang gagal menjaga komitmen moneter sering terjebak inflasi tinggi—contohnya Zimbabwe dan Venezuela. Sebaliknya, BI mampu menjaga inflasi di bawah 4% selama satu dekade terakhir, bahkan saat pandemi dan krisis energi, sehingga rupiah relatif stabil.
Sama seperti token kripto, nilai rupiah bertahan karena publik percaya BI tidak akan gegabah. Konsep ini dikenal sebagai anchoring of expectations, atau jangkar ekspektasi masyarakat.
Biaya Transaksi: Pajak Tersembunyi di Dunia Kripto
Selain pasokan, dunia kripto juga menghadapi isu biaya transaksi. Ethereum misalnya, pernah mengalami “gas fee” selangit pada 2021. Biaya tinggi ini menyingkirkan banyak pengguna kecil, seolah menjadi pajak tak kasat mata.
Jika biaya terlalu tinggi, pengguna enggan bertransaksi. Jika terlalu rendah, proyek kehilangan sumber pembiayaan. Sekali lagi, kuncinya ada pada keseimbangan dan komitmen.
Optimisme di Tengah Risiko
Apakah ini berarti kripto hanya gelembung? Tidak juga. Studi Jermann & Xiang menunjukkan token dengan komitmen tinggi justru lebih tahan lama. Investor ritel, meski sering dianggap lemah, ternyata berperan penting mendorong stabilitas dengan menuntut penerbit konsisten pada janji mereka.
Di Indonesia, tren ini semakin terasa. Pemerintah telah melegalkan aset kripto sebagai komoditas dan mulai 2025, pengawasan akan beralih ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Tujuannya bukan mematikan inovasi, melainkan memastikan janji di balik token tidak menjerumuskan masyarakat. Regulasi menjadi pelengkap komitmen penerbit.
Menuju Rupiah Digital dan Ekonomi Masa Depan
Pelajaran dari tokenomics juga relevan bagi agenda ekonomi digital Indonesia, khususnya rencana penerbitan Rupiah Digital (CBDC) oleh BI. Bedanya dengan kripto biasa, rupiah digital akan langsung dikelola bank sentral dengan mandat menjaga stabilitas.
Namun tantangannya tetap sama: bagaimana meyakinkan publik bahwa nilainya tidak akan tergerus oleh keputusan politik jangka pendek? Jawabannya sekali lagi ada pada komitmen. Kredibilitas BI akan menentukan apakah rupiah digital dipercaya dan digunakan masyarakat.
Menjaga Janji, Menjaga Nilai
Studi Jermann & Xiang memberi kita pelajaran penting bahwa nilai uang—baik fisik maupun digital—tidak semata soal teknologi atau jumlah pasokan, melainkan soal kepercayaan terhadap komitmen penerbitnya.
Bagi Indonesia, pesan ini relevan ketika kita melangkah menuju era ekonomi digital. Baik dalam mengatur kripto, membangun regulasi yang kredibel, maupun meluncurkan rupiah digital, kunci utamanya adalah menjaga komitmen jangka panjang: menjaga inflasi, menjaga biaya tetap wajar, dan menjaga kepercayaan publik.
Dengan komitmen kuat, uang digital bisa menjadi revolusi ekonomi. Tanpanya, ia hanya akan berakhir sebagai ilusi.